Senin, 27 September 2010

Petak Sang Ratu

Petak Sang Ratu



Senja telah mengelupaskan lembar-lembar sayapnya dan di ujung langit barat telah tampak warna hitam bercampur dengan abu-abu yang menjadikan matahari tiada lagi menggigit tubuhku. Aku saat itu sedang berdiam memandangi matahari yang sementara saja pergi dari peraduannya begitupun juga setiap wajah kehidupan yang sewaktu-waktu beranjak pergi dari tempatnya dan hinggap pada tempat yang masih terbungkus misteri. Ah misteri, dia selalu menggoda untuk diikuti agar hidup tegak untuk dijalani.

Aku membalikkan mataku dan saat kubuka perlahan-lahan telah tampak purnama yang telah beranjak naik seperti mutiara yang tersesat pada ujung terdalam palung laut Mariana yang hitam kelam. Pandanganku kulemparkan pada motor tua yang masih setia menemani jejak langkahku, sebuah vespa kongo yang konon telah memelihara perdamaian bumi angkasa manusia, ah perdamaian, sebuah utopia yang nikmat karena hidup manusia hanyalah konflik antar sesamanya jika masih ada kepercayaan yang dipercayai melebihi dewa dewi Suralaya. Ditemani vespa kongo, kedua kakiku kubawa pada tempat yang biasa aku kunjungi saat hari perayaan matahari, sebuah istana para ratu yang tak jemu melayani para raja. Petak ratuku berada pada petak nomor tiga belas, nomor keberuntunganku tentunya dan sekarang aku telah berdiri di depan pintu petak sang ratu. Pada bagian muka pintu tergantung topeng leak. Daun pintu kugapai dengan lembut perlahan, telah menjadi kebiasaan dalam istana ini saat seorang tamu disambut dengan tangan terbuka, istana ini adalah milik semua raja yang mampu memasuki dan meniupkan pesta kecemburuan pada sesama manusia.

Pintu yang terletak menyerong pada sisi kanan petak sang ratu telah tergeser enam puluh derajat. Petak tak begitu luas ini pada sisi tengah dihiasi oleh sepotong kasur yang biasanya kami pergunakan untuk berkidung merangkai panah kama sepanjang malam. Pandanganku kujatuhkan pada sebuah lukisan wanita muda yang tergantung pada dinding yang saling bertatapan dengan sepotong kasur, lukisan wanita muda itu menatapku dengan lirikan yang sangat tajam seperti elang yang bersiap memangsa tikus. Senyum pada lukisan wanita muda telah mengingatkanku pada senyum palsu sang ratu yang tak kunjung datang menemaniku di petak sempit ini. Petak sang ratu terlihat sangat menawan dengan dinding bercat putih, dinding itu juga kurasakan olehku mengawasi setiap gerak tubuhku. Aku begitu menyesal telah datang hari ini, dia tak juga datang menemaniku dan semut-semut yang berbaris sederhana pada dinding terasa menghakimiku perlahan-lahan.

“Lihatlah wanita yang biasa menemanimu pada cermin yang tergantung di samping kiri lukisan wanita,” bisik semut merah, “lihatlah si manusia, mereka menyedihkan, mereka tak pernah menemukan dirinya, mereka hidup hanya untuk bermain merangkai perbudakan yang diciptakan sesamanya,” sahut semut hitam.

“Aku telah salah datang kemari, barangkali sang ratu telah pergi bebas menantang lazuardi,” suaraku hanya mengendap pada batang tenggorokan.

Otakku merangsangku mengakhiri penderitaan ini, tubuhku kuayunkan pada sepotong kasur. Aku menduduki kasur itu dan sejenak terpikir olehku bahwa bukankah telah sering kiranya sang manusia menduduki harapan-harapan manusia lainnya untuk melanggengkan harapannya sendiri. Ah manusia, menjadi aku adalah sebuah kecelakaan dan sang ratu, tak kunjung datang juga. Aku mengalihkan perhatian pada vas bunga yang bersemadi diatas meja kecil di sudut ruangan, hanya terdiam tak menjatuhkan hukuman padaku. Pandangan mataku kualihkan pada pintu dan terlihat olehku sepucuk bayangan ratu yang biasa melayaniku.

“Bunga, senyum Joconda yang kurindukan,” suaraku berderik parau memanggilnya tapi dia tak menjawabnya.

Kutebarkan padanganku pada seisi sisi petak sang ratu, bayangan dirinya yang telah lama kukenal semakin dekat menghampiriku, semuanya menjadi gelap. Dia menggigit mulutku dan mata yang telah kukenal itu sama sekali lain adanya.

“Ada apa denganmu malam ini,” bisikku perlahan pada gendang telinganya.

“Maafkanlah aku sang raja, malam ini dan seterusnya aku tak bisa menemani malammu, aku bukan lagi bonekamu yang dulu,” cerca sang ratu padaku, suaranya lemah menggapai perasaanku.

Kami bedua duduk berdua berpandangan, dia mengeluarkan sepucuk surat dari saku kanannya dan menyerahkan padaku. Benda-benda di petak ini semakin terasa asing olehku, semuanya seakan-akan tak mau lagi mengenalku, seorang raja yang biasa masuk petak sang ratu tanpa permisi. Wanita itu berdiri dan mengambil benda yang terasa tak asing olehku, sepucuk kematian yang dikeluarkan olehnya dari saku kirinya, benda yang menjadi simbol perlawanan atas penindasan manusia dan pengambil napas manusia sebelum waktunya.

“Apa yang kau inginkan!,” bentakku pada sang ratu yang mengacungkan pistol pada perutku.

“ Membunuhmu dan mengakhiri diriku yang semakin terlepas dari hakekatku sebagai manusia, aku bukan bonekamu!.”

Mataku kulemparkan pada laras cerobong hitam pistol sang ratu, seketika keluar meteor yang dimuntahkan dari dalam pistolnya. Sejenak aku amati sekeliling petak sang ratu, esok hari aku tak mungkin kesini kembali melihatmu. Perpisahan dengan benda-benda yang meramaikan petak-petak manusia, mereka tak pernah berdendang air mata, hanya aku saja yang meneteskan air mata, hanya aku saja yang bersedih untuk hari esokku, kotak pandora selalu mengeluarkan segala hal yang tak diharapkan. Aku menutup mataku dan semua telah gelap seperti apa yang telah terjadi dalam rahim ibuku, akan melihat matahari dan bulan yang manakah aku esok?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar